Saturday, April 25, 2020

PENELITAN MENGENAI HUBUNGAN KEKERABATAN JENIS-JENIS ANGGREK DI LERENG MERAPI




Tadi saya lihat-lihat rak buku di rumah, tetiba melihat buku bersampul biru, tebal sekitar 1.5cm di bagian bawah rak. Setelah saya baca, buku dengan logo Universitas Gadjah Mada itu, ternyata adalah penelitian skripsi saya pada tahun 2000. Ya sudah hampir 20 tahun lalu, lama sekali ya.

Namun beberapa hal masih saya ingat tentang skripsi ini. Skripsi saya adalah tentang penelitian anggrek dari segi taksonominya. Taksonomi adalah cabang ilmu dari biologi yang mempelajari pengelompokan suatu jenis makhluk hidup berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki. Ciri-ciri tersebut dibuat catatannya lalu dibandingkan dengan jenis lain. Satu jenis dengan banyak ciri sama kemudian dikelompokkan ke dalam satu grup, demikian seterusnya sampai 1 jenis tersebut ketemu perbedaannya dengan jenis lain.

Pada saat meneliti ini, ciri-ciri yang dipakai adalah berdasarkan ciri fisik. Karena yang diteliti adalah tanaman anggrek yang tumbuh liar di lereng Gunung Merapi bagian selatan, maka ciri-cirinya meliputi ciri daun, batang, akar dan terutama bunga.

Dalam penelitian anggrek di lereng Merapi ini, saya membagi areal penelitian menjadi 3 bagian. Sebetulnya bukan saya yang membagi, namun dosen saya  Dr. Purnomo Msc, yang memang ahli taksonomi tumbuhan.  Karena ini adalah penelitian proyek, dimana kami ke lapangan secara berkelompok bareng dengan teman-teman yang mengerjakan penelitian dengan obyek tumbuhan selain anggrek. Jalur penelitian  meliputi Hutan Wisata, Plawangan dan Turgo. Wah  kalau disuruh mengulangi mendaki lagi pasti napas tersengal-sengal. Terutama jalur Turgo, bukit kecil di sebelah barat Plawangan, nanjak habis deh.

Ciri yang nampak, disebut ciri morfologi, dilakukan dengan pengembilan data morfometri setiap sampel. Artinya tidap anggrek di ukur panjang lebar daun, dan ukuran bagian tumbuhan lainnya. Pengukuran ini dilakukan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Fakultas Biologi UGM dengan menggunakan beberapa buku acuan tulisan Comber (1992), Backer dan Bakhuizen van Den Brink (1965).
Hasil identifikasi kemudian disajikan dengan tulisan deskriptif dalam daftar flora dan kunci identifikasi.

Hasil penelitian saya menemukan 17 jenis anggrek yang termasuk dalam sub famili Epidendroideae dan Vandoidea. Jenis-jenis anggrek tersebut adalah:
1     1 . Spathoglottis plicata ( anggrek tanah)
2.       Epipogium roseum , anggrek epifit
3.       Coelogyne sp, anggrek epifit
4.       Dendrochilum simile,  anggrek epifit
5.       Pholidota globosa, anggrek epifit
6.       Eria multiflora, anggrek epifit
7.       Appendicula reflexa, epifit
8.       Dendrobium mutabile, epifit
9.       Dendrobium sagitatum, epifit
10.   Bulbophyllum abschonditum
11.   Gastrochilus sororius
12.   Trixpermnum acutilobum
13.   Dan Schoenorchis juncifolia
Anggrek-aggrek tersebut mempuya variasi kenampak morfologi.




Tuesday, April 21, 2020

KESEMPATAN YANG TERBAIK


Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik (Efesus 2:10).

Hari kemarin seorang teman mengunggah sedang berada di sebuah rumah makan yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Segera saja kuminta mampir ke warung kami.
“Kamu gak mancing,” tanyanya lewat grup whatshapp. Beberapa waktu lalu saat dia mau mampir, sudah sampai di warung, kami sedang mancing di Ponjong.
“Tidak “, jawabku.
Tidak sampai 15 menit dia sudah sampai di warung. Lalu kami berbincang banyak dan lama. Pengalamannya soal sedekah.  Saat ingin ganti mobil, yang lama dia berikan Cuma-Cuma. Lalu tak lama kemudian datanglah rejeki dari arah yang tidak dia sangka, sehingga mampu beli mobil yang diinginkan. Saat ada teman datang dalam keadaan kesulitan minta dipinjami uang. Lalu dia bilang : punya aset apa, itu juallah dahulu.
Lalu Budi bayar tanah milik teman  agar bisa untuk bayar hutang. Langsung dibayar sesuai dengan permintaan harga, tanpa menawar. Begitu juga saat datang lagi seorang teman yang terjerat hutang. Hanya punya mobil BMW lama yang rusak dan  beberapa tahun tidak dibayar pajaknya. Karena niat membantu teman, Budi bayar mobil itu sesuai harga yang diminta, walau masih harus servis dan bayar pajak yang lumayan banyak. Lalu ada cerita saat bapaknya ditabrak anak sekolah yang ortunya tidak punya.  Kondisi bapaknya tidak bisa pulih hingga saat ini, harus menjalani terapi. Namun Budi memutuskan untuk tidak menuntut  anak itu, urusan di polisi diselesaikan secara kekeluargaan, motor yang ditahan dibayar biayanya, lalu anak itu diundang ke rumah untuk dikasih tahu tidak  perlu membayar biaya rumah sakit bapaknya.

Kesempatan berbuat baik selalu datang dari mana saja, setiap waktu bisa menghampiri kita. Kadang kita berkilah : tidak punya uang, sedang susah kok  membantu orang,  tidak punya waktu. Tinggal keberanian kita untuk memutuskan berbuat. Hati nurani yang menyalakan alarm saat ada ketidakberesan yang harus kita bantu menjadi semacam bukti bahwa kita adalah citra Allah.  Maka mari kita cari kesempatan berbuat baik sebanyak-banyaknya untuk memuliakan Allah.

2019 20 nov


BELAJAR DENGAN BAHAGIA




Minggu ini kami  punya pilihan pergi di hari kerja. Ibunya kembar ada waktu kosong karena jam mengajar dipakai guru  lain.Anak-anak  memilih mengunjungi Taman Pintar.
Beberapa tahun      lalu saat mereka masih kecil  juga sudah pernah ke tempai ini, tidak hanya sekali , tiga atau empat kali.Hari ini terlihat mereka antusias dan menikmati setiap wahana yang ada. Beberapa kali berhenti di komputer interaktif yang memperlihatkan cerita dari  panel visual  yang disediakan.
76702362_10217715409535437_1366021894750339072_o.jpg
Mereka terlihat menikmati dan bahagia, saya pun sebagai ortu juga merasa bahagia. Betapa anak-anaku sekarang sudah bertambah tinggi, mulai mau masuk pra remaja.

Aji dan Jati memulai proses homeschoolling  sejak usia 6 tahun.  lalu sempat bersekolah di kelas 1 SD, setahun dengan banyak waktu bolos untuk ijin kegiatan di luar.  Kepala sekolah tidak menaikkelaskan mereka karena nilainya kurang. Lalu kami melanjutkan homeschoolling.
     Menjalani pendidikan adalah seperti kehidupan . Dia seperti  perjalanan panjang  sepanjang hayatkita pendidikan tak berhenti  ketika kita lulus sekolah atau kuliah. Pendidikan dan proses berlangsung terus di dalam dunia kerja, organisasi dan kehidupan sosial sertas piritual kita. Karena  perjalanan   sangatlah panjang  pantaslah kita jika mencoba  memaknai setiap  langkah dengan rasa bahagia.  Kunci untuk menjalani pendidikan dengan bahagi adalah menikmati setiap momen, baik momen proses maupun momen tercapainya tujuan, baik yang indah maupun maupun yang buruk yang harus dilalui. (Sumardiono, 2014)

Wonosari, 21 November 2019



GALAU LAGI




Mengalir dalam keseharian, kadang tanpa rencana kegiatan yang rigid. Mengalir saja. Ternyata tidak selalu tenang, karena muncul pergumulan.
Hari ini kujanjikan pada AJi untuk bermain pohon pertanyaan. Dalam benakku akan kusiapkan ranting pohon kering, lalu bisa diberdirikan. Setiap pagi, siang atau sore Aji, Jati jika punya pertanyaan, menuliskannya dalam kertas warna dan menempelkan pada salah satu rantingnya.
Lalu yang lain yang baca pertanyaan itu dan bisa membantu mencarikan penyelesaiannya akan menawarkan jawaban atau bantuan.
Ranting pohon kering memang belum kudapat. Lalu AJi  menagih janji permainan ini. Kertas warna kesepakatannya ditempelkan saja pada daun pintu limasan di teras. Aji kuterangkan mengenai ide pohon pertanyaan ini, tentang pertanyaan apa yang perlu ditulis. Tentang pertanyaan yang tidak perlu dituliskan. Dan ternyatan dia bingung memahami penjelasanku. Moodku negatif hampir meletup, lalu aku bebersih di sekitar akuarium yang ada bau busuknya. Kukeluarkan filter yang sudah kotor.  Maksudnya agar energi negatif keluar. Lalu sumber busuk ditemukan.
Beberapa pikiran muncul, untuk menganggu istri dengan kegaalauanku ini. Namun segera kutepis, energi negatif yang dibagikan bisa merusak mood kerja.  Ada buku Suara dari keheningan,  pada halaman terakhir ternyata  ada tulisanku saat-saat galau. Sedikit  banyak mengobati dan memberi peta lagi cara mengatasinya.
Saat ini menulis menjadi katarsis yang  mengurangki beban pikiranku. Kemerdekaan yang sesungguhnya kurasakan dari menulis ini. Walaupun tidak setiap waktu bisa menumpahkannya pada deretan keyboard laptop. Terkadang saat ide muncul lalu menunda agar nanti saja menghidupkan laptop. Saat sudah di depan laptop ide-ide dan perasaan sudah berubah sama sekali.
Menulis membantuku untuk melihat diri, menelanjangi diri dengan santun karena harus dikemas dengan deretan huruf dan kata, memadukannya menjadi sebuah kalimat yang runtut. Sementara ide dan perasaan yang muncul di kepala seperti   banjir air yang mengalir deras tanpa bisa dibendung. Banjir perasaan dalam kata-kata yang diam, lalu hanya bisa direspon dengan degup jantung yang makin menjadi, napas yang yang makin sering dan berat.
Sedikit kupahami tentang kondisi fisikku saat ini. Dalam raga yang sebenarnya masih kuat ini  aku berkompromi dengan kadar koelsterol yang tidak pernah turun selama 6 tahun. AKu juga menyadari kerapuhn kehendak, tidak bisa mengerem lidah yang kecanduan keinginan makan gorengan.
Ragaku ditaklukkan oleh degup jantung  dan tekanannya pada pembuluh yang mungkin makin menyempit karena timbunan lemak. Ambisi dan keinginan dijinakkna oleh kondisi ini sehingga aku mengalah untuk membiarkan diriku lemas dan mengantuk.
Aku belum punya cara untuk menyampaikan ini dalam kata-kata yang tidak memelas, minta dikasihani. Sesuatu yang jelas tidak aku sukai karena akan membangkitkan egoku.  Kebutuhanku untuk didengar oleh orang yang tidak mudah terseret dalam aura negatifku , namun mau merangkul.
Dalam deretan kata dan kalimat ini sebenarnya  aku masih mencari sesuatu yang pas untuk diriku. Aku masih dalam perjalanan memahami diriku yang tidak sepenuhnya kumengerti. Pergumulan yang sama muncul saat usia SMA, dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih berkembang. Kegelisahan yang dulunya hanya untuk diriku sendiri, saat ini lebih kutujukan untuk AJi dan Jati. Besok mau seperti apa?
Romo Grasius SVD saat Desember kemarin memberi banyak penghiburan. Karena beliau juga bergumul dengan pertanyaan itu dengan para novisiatnya.

Work at home Dad
---- 9 januari 2020 ---

JANGAN KHAWATIR, BELAJAR DARI NABI AYUB



Membuka tahun 2020 ini dunia dikhawatirkan dengan merebaknya virus korona baru yang diberi nama Covid-19. virus baru yang muncul di Wuhan Cina membuat khawatir karena bisa berkembang menjadi pandemi. Kasus penularannya di Cina menanjak dari angka ratusan dan sebentar saja menjadi ribuan. Masalah tak pernah selesai, bila kita lihat di negara kita ada banyak masalah juga. Korupsi, bencana banjir tanah longsor yang bertubi-tubi data. Beberapa perusahaan besar terpaksa mem-PHK ratusan karyawannya karena dampak resesi global.Berita prostitusi anak yang terjadi di beberapa kota besar juga meresahkan.  Gereja yang sudah puluhan tahun berdiri di demo tidak mendapat IMB.
Kekhawatiran, ketakutan, panik adalah napas sehari-hari bagi kita. Kehidupan kita sehari-hari dalam mengurus anak, pasangan, mencari nafkah, berbisnis, kerja di kantor,mengajar, ataupun dalam menggembalakan umat tidak jauh dari rasa khawatir. Penderitaan dan kekhawatiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Lantaran inilah Alkitab menjadikannya tema penting  secara khusus dalam kitab-kitab kebijaksanaan. Seperti Kisah Ayub, orang yang berbudi baik dan mempunyai kekayaan luar biasa. Ia lalu mengalami penderitaan hebat, kehilangan seluruh kekayaan, anak-anaknya. Lalu disusul Ayub terkena kusta, dari telapak kaki sampai kepalanya berbau busuk. Bahkan untuk menggarukpun harus memakai pecahan tembikar.
  Hidupnya meluncur turun menuju lembah penderitaan ke titik terdalam. Masyarakat pada jaman Ayub  berpedoman bahwa Allah akan mengganjar yang baik dan menghukum yang jahat (juga mengingatkan saya akan komentar para warganet bahwa wabah Covid-19 karena Cina membunuhi etnis Uighur).  Ratapan dan protes keras istri  Ayub agar mengutuk Allah menambah berat penderitaannya. Menurut mereka ada kaitan erat antara penderitaan dengan dosa, dengan kata lain Ayub mengalami penderitaan hebat karena dosa-dosanya.
Pergulatan batin yang tidak mudah bagi Ayub  sampai membuat putus asa.  sehingga keluarlah keluh kesah kepada Allah, katanya ,“Ya Allah, kutukilah hari kelahiranku, dan malam aku mulai dikandung ibuku!  
Ayub bahkan menyesal dirinya telah hidup:  Mengapa aku tidak mati dalam rahim ibuku, atau putus nyawa pada saat kelahiranku? Mengapa aku tidak  lahir tanpa nyawa, supaya tidurku lelap dan terlena? (bdk Ayub 3 :1)
Kesedihan terbesar Ayub ialah Allah yang nampak meninggalkannya dan diam saja atas penderitaan, sakit dan hinaan yang dialaminya. Dalam keadaan demikian Ayub mengungkapkan seluruh perasaannya kepada Allah. Tetapi dalam semua itu Ayub tidak mengutuki Allah, seruannya merupakan ungkapan penderitaan dan keputusasaan bukan karena menentang Allah.
Kita sering dalam situasi terpuruk yang berarti dalam area berbahaya untuk menolak Allah dan meninggalkan iman. Padahal justru lewat misteri penderitaan itulah Allah hadir. Ayub sesungguhnya tidak sedang bergulat dengan penderitaan yang biasa- biasa saja.
Medan berbahaya
Saat kita berkeluh kesah, meratap, menangis saat itulah sebenarnya kita masuk dalam medan berbahaya. Perasaan depresi akan segera menguasai, saat seperti itu secara manusiawi pikiran akan terarah menuju kematian. Sepertinya semua akan terselesaikan dengan kematian, karena tidak ada keluh kesah lagi. Ataupun dengan penyesalan mengapa kita harus hidup di dunia.  Pikiran juga akan terarah untuk menyalahkan siapapun yang pernah berelasi dengan hidup kita, bahkan akhirnya akan menyalahkan Allah.
Ayub belajar dari penderitaannya. Ia menyadari tidak hanya sekedar bergulat dengan penderitaan fisik semata. Namun dengan kesadaran selalu menerima segala penderitaan tersebut dan tetap berpegan bahwa Allah sebagai sumber kebaikan. Kesadarannya ini membawanya bahwa penderitaan ini sebagai wajah lain dari Allah, Allah yang paradoksal. Karena di satu sisi Allah sumber kebaikan namun tanpa alasan yang jelas (yang kita tidak mengerti) penderitaan datang bertubi-tubi, membiarkan penderitaan yang seharusnya untuk orang yang jahat (menurut logika manusia).
Ketika hidup kita baik, bahagia, anak-anak tidak ada masalah, keuangan lancar, bisnis berjalan terus, tidak sulit untuk mengatakan bahwa Allah sumber kebaikan. Dalam situasi kebalikan, akankah kita bisa melambungkan pujian seperti itu. Orang juga bisa dengan mudah menasehati agar kita bersabar menerima segala  sakit dan penderitaan, karena Allah tidak akan mencobai melampaui batas kemampuannya. Tidak ada yang salah.
Namun juga tidak ada yang menjamin orang yang selalu bersyukur saat situasi baik, tetap bersyukur dan tidak meninggalkan Allah. Apakah ia sanggup tetap melambungkan pujian saat situasi begitu berat?
Syukurlah jika kita tetap berjalan seiringg dengan Allah. Namun Allah yang sekarang, setelah kita melewati berbagai penderitaan, tidaklah sama dengan Allah yang dahulu kita imani, saat kehidupan baik-baik saja. Seperti gambaran Allah saat kita masih anak-anak dengan sesudah dewasa.Dialah Allah yang saat ini seperti menjadi musuh kita. Menjadi lawan untuk bergumul bahkan bertarung mati-matian.
Bertarung dengan Allah dan memenangkannya tidak berarti harus mengalahkan Allah. Namun jika kita bisa bertahan melewati penderitaan, alias lulus dari ujian iman hal itu berarti kita berhasil. Penderitaan Ayub bisa jadi berbeda dengan yang kita alami. Penderitaan tetaplah sesuatu yang menjadi misteri sampai akhir. Kadangkala sulit untuk menjelaskannya. Langkah bijaknya adalah tetap menerima penderitaan itu dengan kesadaran bahwa setelah kita berhasil melewati akan menjadi lebih matanglah rohani kita. Melarikan diri hanya bebas sementara, namun suatu saat akan ketemu lagi dengan penderitaan bentuk yang lain. Itulah kontrak kita sebagai orang beriman : memanggul Salib.
Memanggul salib harus kita sadari sebagai sarana transformasi diri menjadi lebih matang dan dewasa. Mari kita amati guratan wajah ayah atau ibu kita. Lekukan kulit di atas dahi, kantung di bawah mata, garis-garis di pipi itu adalah jejak penderitaan yang mereka alami dan lewati. Ribuan peristiwa menyumbang pada kerut wajahnya.  Buah dari melewati penderitaan ini adalah wajah yang bersinar, senyum mengembang karena makin matang dan percaya diri. Santo Matius menasihati : Janganlah khawatir akan hidupmu (Mat 6:25).

ALusius Heru Tricahyanto
18 Februari 2020




Merangkul ketakutan


                                               
Tulisan dari www.utusan.id berjudul : Ada Tuhan di Luar Sana menarik sekali. Tulisan yang disajikan secara renyah, diangkat dari pengalaman hidup seseorang. Nampak seperti pengalaman sederhana namun jika diselami lebih dalam bisa menjadi bekal menguatkan iman.
Yang paling menarik  bagi saya adalah paragraf ini : Rasa takut dan iman adalah kedua hal yang sama tetapi berbeda. Perbedaan itu sangat tipis, hampir tidak terlihat. Ketakutan adalah saat kita mempercayai sesuatu yang tidak kita lihat dan belum tentu akan terjadi dalam hidup kita. Iman adalah ketika kita memercayai sesuatu yang tidak kita lihat namun kita percaya dan berharap bahwa sesuatu itu akan terjadi dalam hidup kita. “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (bdk. Ibr. 11: 1).

Bagi saya ketakutan seringkali muncul saat menghadapi keheningan. Karena dengan cepat memunculkan banyak pengalaman yang ada di dasar ingatan. Keheningan yang pasti dijumpai dalam keseharian adalah saat tengah malam, saat anak dan istri sudah terlelap, biasanya tinggal saya sendiri. Di rumah tidak ada TV praktis pilihannya hanya diam, membuka buku atau gawai.
Dalam suatu waktu tiba-tiba saja muncul rasa tidak berdaya,sia-sia dan keraguan saat meneliti satu-persatu yang sudah dilewati.  Kurang lebih usaha yang telah saya jalankan selama lebih dari 15 tahun ini dari belum menikah sampai punya anak 2, pada kondisi kritis. Boleh dibilang mau bangkrut karena hasil yang didapat hanya cukup atau kadang kurang hanya untuk membayar gaji karyawan. Sementara waktu sudah tercurah untuk anak-anak yang memilih homeschoolling. Ada pilihan memang, jika saya cari kerja di luar untuk mendapat uang yang lebih banyak, maka harus banyak meninggalkan rumah. Namun tarik ulur terjadi,  siapa yang menemani anak-anak di rumah saat kutinggal. Sementara ibunya baru pulang sore hari. Dengan kesadaran saya ambil pilihan untuk tinggal di rumah.
Pilihan kami untuk pendidikan anak juga bukan jalan yang mudah. Kami adalah keluarga homeschoolling, anak-anak tidak sekolah. Kerennya sekolah di rumah. Namun lebih tepat jika dikatakan tidak sekolah (unschoolling). Pilihan yang bukan paksaan memang, karena timbul dari kesadaran, setelah mencoba dan meneliti memang belum saatnya untuk mengambil jalur pendidikan formal. Pergulatannya adalah saat rutinitas pagi, karena di rumah anak-anak terbiasa santai sering bangun siang. Setahun ini mencoba mendisiplinkan dengan sarapan mengikuti misa pagi di Gereja. Keragu-raguan sering kali muncul dengan masa depan anak-anak bagaimana?
Pada suatu waktu juga saya mengalami ketakutan karena kadar kolesterol yang bertahun-tahun lebih banyak di atas ambang normal. Ketakutan kalau-kalau pagi hari sudah pindah ke lain dunia alias dipanggil Tuhan. Karena kakak dan ayah mengalami hal yang sama. Meninggal tanpa sakit yang berarti.
Kisah Nabi Yeremia meneguhkan hati saya.  Krisis dan penderitaan Yeremia membuat lelah dengan hidupnya. Sehingga terbitlah  litani rintihan. Yeremia meratapi hidupnya demikian : “ Celaka aku, ya ibuku, bahwa engkau telah melahirkan aku, seorang yang menjadi buah perbantahan dan buah percederaan bagi seluruh negeri.” Yang dialami Yeremia adalah penderitaan  dan kepahitan yang begitu hebat. Sampai-sampai  Yeremia menganggap Allah telah menipunya sehingga tidak perlu dipercaya lagi.
Yakub yang melarikan diri karena ketakutan akan dibunuh oleh Esau tiba di tepi Sungai Yabok. Lalu datang seorang laki-laki yang bergulat dengan Yakub sampai wajar menyingsing. Dan Yakub memenangkan pertarungan tersebut.  Lalu laki-laki itu memberkati Yakub dan memberinya sebutan baru : Israel.  Yakub menyadari bahwa ia telah berhadapan dengan Allah dan menami tempat bertarungnya itu Pniel.
Yusuf juga mengalami penderitaan saat disingkirkan oleh saudara-saudaranya dengan dijual menjadi budak. Lalu setelah bekerja di rumah Pontifar,  orang penting di lingkaran Firaun. Namun lagi-lagi mengalami penderitaan karena difitnah oleh istri Pontifar sehingga Yusuf dipenjarakan. Namun karena menjadi anak yang baik lagi-lagi menjadi anak kesayangan kepala penjara. Karena kemampuannya menafsirkan mimpi lalu Yusuf menjadi kepercayaan Firaun.
Dari beberapa kirah itu terlihat bahwa perjumpaan dengan Allah hanya dapat dilakukan lewat mengalami penderitaan. Penderitaan yang seperti apakah itu? Tiap orang sepertinya punya kisah sendiri-sendiri. Yang terlihat di mata  hanyalah sedikit dari yang keseluruhan dialami. Ada seorang temah yang saya  lihat mapan, bahagia, kecukupuan,anak-anaknya sekolah lancar. Namun tiba-tiba adalah masalah dengan istrinya, keluarganya terbelah. Sampai saat ini belum selesai sehingga hidup terpisah.
Saat mengalami hidup yang berat ada kerinduan untuk mendapat petunjuk dari Allah. Oh Tuhan berikan petunjukMu untuk kujadikan pegangan hidup, sebuath syaitu lagu yang dinyanyikan  Panbers. Bagaimanakah sikap saya agar bisa menerima petunjuk dari Tuhan. Kisah Maria dan Marta menarik sekali. Ketika Yesus ternyata lebih berkenan kepada Maria yang diam di dekat kaki Yesus, dibandingkan dengan Marta yang sibuk ini itu menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut tamunya.
Diam yang bagaimanakah? Maria menjadi teladan sikap diam tersebut. Dari saat  saat Malaikat Gabriel mengunjunginya dan memberitakan kelahiran Yesus (Luk 1: 26-38). Kemudian berlanjut saat Bunda Maria mengunjungi Elizabeth saudaranya, yang menyebutnya sebagai ‘Ibu Tuhanku’ (Luk 1:43). Saat para gembala dan para malaikat menyembah Yesus Sang Putera yang dilahirkan di kandang Betlehem (lih. Luk 2:19), di sanalah pertama kali saya membaca, bahwa Maria menyimpan segala perkara di dalam hatinya dan merenungkannya (Luk 2:51)  Ia tidak mengerti perbuatan Putranya. Tetapi ia tidak memakai ketidakmengertiannya sebagai bahan untuk dipersoalkan dan dibicarakan. Ia menerimanya dengan diam, sampai di kaki salib Putranya.

Dalam diamnya Maria menyimpan segala perkara dalam hatinya dan merenungkannya. Ini tentu bukan hal yang mudah. Secara reaktif bukankah saya selalu mempertanyakan hal-hal pahit yang dialami dengan kata tanya : Mengapa ini terjadi. Terbit rasa perlawanan dalam hati. Dan merasa penderitaan sebagai hukuman dari Tuhan.
Santa Edith Stein  mengatakan bahwa Maria menjadi teladan  utama bagi saya.  Bagaimana saya harus diam di hadapan Allah.  Dalam diamnya Maria saya belajar untuk membuka batin dan pikiran bagi Allah dan  sesama. Dengan diam-diam pula
Tuhan bekerja di dalam dirinya. Maria selalu menimbang-nimbang sabda Allah dengan hening dan diam. Itulah sebenarnya inti terdalam dari kehidupan doa saya.

Sepertinya dari peristiwa dan kejadian sehari-hari yang saya alami saya harus menyelam lebih dalam lagi. Bukan pada peristiwa gembira atau sedih, penderitaan atau kebahagiaan, namun pada kemampuan saya untuk memaknainya. Fritz Meko SVD menuliskan puisi yang indah:

Saya adalah
Impian langit
Yang digenang darah dan air
Mengalir
Dalam rongga rahim
Datanglah kehidupan
Lalu
Saya  pun terus mengembara
Menyusuri aneka peristiwa
Menggali makna
Mengendus hikmah
Dan
Kembali menimbunnya
Dengan harapan-harapan yang tersisa.




Biodata :
Heru Tricahyanto
Alamat : Dimaskomputer, Jl Veteran 12 Trimulyo 1 Kepek Wonosari Gunungkidul 55813

PERSEMBAHAN HIDUP MBAH PINGGIR



Simbah tua yang bernama Mbah Pinggir, tiap hari berjalan belasan kilometer dengan beban di punggungnya berisi sayur mayur, ketela, rebung dan lain-lain. Dibawanya sayuran tersebut menuju pasar.
Beban di punggung yang berat dan cucuran keringatnya tidak melenyapkan senyuman yang selalu merekah ketika bertemu dengan orang. Pun ketika bertemu saya yang sedang duduk-duduk di depan rumah. Bahkan kadang Mbah Pinggir malahan memberikan beberapa ikat sayuran kepada saya, setengah memaksa agar saya menerimanya. Saya lebih sering menolak, dan Mbah Pinggir meninggalkan begitu saja di lantai rumah yang akhirnya terpak saya ambil.
Mbah Pinggir tentu bukan orang kaya, hidupnya pas-pasan. Namun tetap berusaha memberi dengan kekurangannya tersebut. Saya jadi malu jika mengingat diri sendiri. Berapa yang sudah saya berikan ke orang lain hari ini? Seringkali betapa pelitnya hati ini untuk melepaskan kepemilikan barang-barang yang bahkan sudah jarang dipakai? Saya lalu mengamati lemari pakaian saya, berpintu 3 dari kayu jati. Yang setiap ruangnya sudah penuh berjejal pakaian dari kaos, baju, celana. Padahal berapa banyak yang sering saya pakai setiap harinya? Di teras rumah juga ada beberapa pasang sepatu berlapir debu karena hampir tidak pernah dipakai.Oh betapa tidak sederhanya hidupku. Banyak barang kubeli, jarang kupakai. Hanya dipakai sekali dua kali lalu ditumpuk begitu saja. Buku-buku di rak juga demikian, betapa banyaknya yang belum sempat dibaca, hanya ingin beli dan ditumpuk begitu saja. Jika itu kuberikan kepada orang lain mungkin akan lebih berguna.
Mbah Pinggir, orang miskin, tidak memberi dari kelimpahan hidupnya. Nilai dagangan sayurannya berkisar 100-150ribu. Keuntungan yang diraihnya paling banyak 30 ribu jika laku semua, dipotong uang untuk beli sarapan. Namun dia dengan iklas memberiku seikat sayuran.Nilainya tidak seberapa, mungkin 3000 rupiah saja. Tapi itu berarti mengurangi keuntungan yang bakal didapatnya. Saya kadang “eman” untuk membayar parkir 2000 rupiah ke tukang parkir. Kalaupun memberi dengan perasaan “nggerundel”.
Saya lalu teringat pada kisah persembahan janda miskin. Hanya dua peser yang ia persembahkan kepada Tuhan. Namun itulah harta yang dimiliki. Dan Tuhan berkenan : Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahka ia memberi seluruh nafkahnya (bdk Luk 21 : 1-4).
Saya lalu teringat pada seorang temah yang bercerita pernah mengosongkan tabungannya, diberikannya seluruh uang di tabungan itu untuk sedekah. Dan ajaibnya hidupnya tidak kekurangan sampai sekarang. Rejekinya datang dari berbagai pintu  yang tidak ia sangka.
Memberi memang kata yang mudah diucapkan, namun sulit untuk dilakukan. Memberi dengan iklas kuncinya. Pada saat tangan kita terulur dengan tulus saat itulah kita turut melepaskan kekhawatiran akan hidup kita. Santo Matius menasihati : Janganlah khawatir akan hidupmu. Akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir  pula akan tubuhmu apa yang  hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?(bdk Mat 6 : 25-26)

ALusius Heru
18 Februari 2020



Monday, April 20, 2020

Akhirnya Terbit juga Buku Pertamaku

Hobi menulis saya awali dari nge-blog menuliskan pengalaman saat menyervis peralatalan CPU , Printer di blog Dimaskompuer.com. Saat itu tiap kali dapat kasus barus saya tuliskan agar bisa untuk belajar yang lain dan saya juga agar ingat.
Lalu mulai tahun 2015 saya mencoba menulis hal lain, yaitu tulisan-tulisan refleksi yang relijius. Beberapa tulisan saya kirim ke Majalah Utusan dan dimuat. Tulisan lain juga tentang yang sederhana saja, misalnya kegiatan di Gereja atau resensi buku yang saya baca. Resensi ini saya kirimkan juga ke Majalah Utusan atau Majalah Salam damai.

Akhirnya tulisan refleksi bisa terkumpul beberapa puluh, hampir lima puluh artikel. Lalu saya coba kumpulkan dalam satu berkas. Kebetulan juga saya bisa bergabung dengan Komunitas penulis Katolik Deo Gratias, dan bisa ikut beberapa kali workshop yang diadakan oleh kelompok ini.
Saya yang "gumunan" senang ketemu dengan teman-teman baru, banyak yang memang seorang penulis.

Dari salah seorang anggota komunitas ini saya kenal dengan Pak Yusup seorang penulis  buku bahasa inggris yang produktif. Tidak banyak percakapan beliau, namun saya terinspirasi. Dan mendapatkan kontak dengan penerbit untuk proses penerbitan tulisan saya menjadi buku.
Saya bermaksud menerbitkan buku secara indie namun dengan nama penerbit tersebut.

Dan buku pertama saya berjudul : Suara dari Keheningan akhirnya memecah kesunyian di bulan November 2019.
Apakah isinya Buku Suara dari Keheningan ini?
Semuanya tentang pengalaman hidup saya dalam tulisan yang pendek dan ringan. Mengenai apa yang rasa lihat, dengar dan rasakan. Mengenai pengalaman kawan yang hidupnya terasa berat, mengenai pergulatan batin saya sendiri sebagai orang tua dari anak homeschoolling, dan pergulatan saya menjadi sebuah keluarga.
Semuanya merupakan pengalaman-pengalaman kecil, yang darinyalah saya menemukan makna hidup, bahwa dalam pengalaman yang sederhana itu Tuhan hadir.

Jika tertarik Anda bisa memesannya melalui bukalapak. Ketik saja Buku Suara dari Keheningan.