Membuka tahun 2020 ini dunia dikhawatirkan dengan merebaknya virus
korona baru yang diberi nama Covid-19. virus baru yang muncul di Wuhan Cina
membuat khawatir karena bisa berkembang menjadi pandemi. Kasus penularannya di
Cina menanjak dari angka ratusan dan sebentar saja menjadi ribuan. Masalah tak
pernah selesai, bila kita lihat di negara kita ada banyak masalah juga.
Korupsi, bencana banjir tanah longsor yang bertubi-tubi data. Beberapa
perusahaan besar terpaksa mem-PHK ratusan karyawannya karena dampak resesi
global.Berita prostitusi anak yang terjadi di beberapa kota besar juga
meresahkan. Gereja yang sudah puluhan
tahun berdiri di demo tidak mendapat IMB.
Kekhawatiran, ketakutan, panik adalah napas sehari-hari bagi kita. Kehidupan
kita sehari-hari dalam mengurus anak, pasangan, mencari nafkah, berbisnis,
kerja di kantor,mengajar, ataupun dalam menggembalakan umat tidak jauh dari
rasa khawatir. Penderitaan dan kekhawatiran merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan manusia. Lantaran inilah Alkitab menjadikannya tema
penting secara khusus dalam kitab-kitab
kebijaksanaan. Seperti Kisah Ayub, orang yang berbudi baik dan mempunyai
kekayaan luar biasa. Ia lalu mengalami penderitaan hebat, kehilangan seluruh
kekayaan, anak-anaknya. Lalu disusul Ayub terkena kusta, dari telapak kaki
sampai kepalanya berbau busuk. Bahkan untuk menggarukpun harus memakai pecahan
tembikar.
Hidupnya meluncur turun menuju lembah
penderitaan ke titik terdalam. Masyarakat pada jaman Ayub berpedoman bahwa Allah akan mengganjar yang
baik dan menghukum yang jahat (juga mengingatkan saya akan komentar para
warganet bahwa wabah Covid-19 karena Cina membunuhi etnis Uighur). Ratapan dan protes keras istri Ayub agar mengutuk Allah menambah berat
penderitaannya. Menurut mereka ada kaitan erat antara penderitaan dengan dosa,
dengan kata lain Ayub mengalami penderitaan hebat karena dosa-dosanya.
Pergulatan batin yang tidak mudah bagi Ayub sampai membuat putus asa. sehingga keluarlah keluh kesah kepada Allah,
katanya ,“Ya Allah, kutukilah hari kelahiranku, dan malam aku
mulai dikandung ibuku!
Ayub bahkan menyesal
dirinya telah hidup: Mengapa aku tidak
mati dalam rahim ibuku, atau putus nyawa pada saat kelahiranku? Mengapa aku
tidak lahir tanpa nyawa, supaya tidurku
lelap dan terlena? (bdk Ayub 3 :1)
Kesedihan terbesar Ayub
ialah Allah yang nampak meninggalkannya dan diam saja atas penderitaan, sakit
dan hinaan yang dialaminya. Dalam keadaan demikian Ayub mengungkapkan seluruh
perasaannya kepada Allah. Tetapi dalam semua itu Ayub tidak mengutuki Allah,
seruannya merupakan ungkapan penderitaan dan keputusasaan bukan karena
menentang Allah.
Kita sering dalam situasi terpuruk yang berarti dalam area berbahaya
untuk menolak Allah dan meninggalkan iman. Padahal justru lewat misteri
penderitaan itulah Allah hadir. Ayub sesungguhnya tidak sedang bergulat dengan
penderitaan yang biasa- biasa saja.
Medan berbahaya
Saat kita berkeluh kesah,
meratap, menangis saat itulah sebenarnya kita masuk dalam medan berbahaya.
Perasaan depresi akan segera menguasai, saat seperti itu secara manusiawi
pikiran akan terarah menuju kematian. Sepertinya semua akan terselesaikan
dengan kematian, karena tidak ada keluh kesah lagi. Ataupun dengan penyesalan
mengapa kita harus hidup di dunia.
Pikiran juga akan terarah untuk menyalahkan siapapun yang pernah
berelasi dengan hidup kita, bahkan akhirnya akan menyalahkan Allah.
Ayub belajar dari
penderitaannya. Ia menyadari tidak hanya sekedar bergulat dengan penderitaan
fisik semata. Namun dengan kesadaran selalu menerima segala penderitaan
tersebut dan tetap berpegan bahwa Allah sebagai sumber kebaikan. Kesadarannya
ini membawanya bahwa penderitaan ini sebagai wajah lain dari Allah, Allah yang
paradoksal. Karena di satu sisi Allah sumber kebaikan namun tanpa alasan yang
jelas (yang kita tidak mengerti) penderitaan datang bertubi-tubi, membiarkan
penderitaan yang seharusnya untuk orang yang jahat (menurut logika manusia).
Ketika hidup kita baik,
bahagia, anak-anak tidak ada masalah, keuangan lancar, bisnis berjalan terus,
tidak sulit untuk mengatakan bahwa Allah sumber kebaikan. Dalam situasi
kebalikan, akankah kita bisa melambungkan pujian seperti itu. Orang juga bisa
dengan mudah menasehati agar kita bersabar menerima segala sakit dan penderitaan, karena Allah tidak
akan mencobai melampaui batas kemampuannya. Tidak ada yang salah.
Namun juga tidak ada yang
menjamin orang yang selalu bersyukur saat situasi baik, tetap bersyukur dan
tidak meninggalkan Allah. Apakah ia sanggup tetap melambungkan pujian saat
situasi begitu berat?
Syukurlah jika kita tetap
berjalan seiringg dengan Allah. Namun Allah yang sekarang, setelah kita
melewati berbagai penderitaan, tidaklah sama dengan Allah yang dahulu kita
imani, saat kehidupan baik-baik saja. Seperti gambaran Allah saat kita masih
anak-anak dengan sesudah dewasa.Dialah Allah yang saat ini seperti menjadi
musuh kita. Menjadi lawan untuk bergumul bahkan bertarung mati-matian.
Bertarung dengan Allah dan
memenangkannya tidak berarti harus mengalahkan Allah. Namun jika kita bisa
bertahan melewati penderitaan, alias lulus dari ujian iman hal itu berarti kita
berhasil. Penderitaan Ayub bisa jadi berbeda dengan yang kita alami.
Penderitaan tetaplah sesuatu yang menjadi misteri sampai akhir. Kadangkala
sulit untuk menjelaskannya. Langkah bijaknya adalah tetap menerima penderitaan
itu dengan kesadaran bahwa setelah kita berhasil melewati akan menjadi lebih
matanglah rohani kita. Melarikan diri hanya bebas sementara, namun suatu saat
akan ketemu lagi dengan penderitaan bentuk yang lain. Itulah kontrak kita
sebagai orang beriman : memanggul Salib.
Memanggul salib harus kita
sadari sebagai sarana transformasi diri menjadi lebih matang dan dewasa. Mari
kita amati guratan wajah ayah atau ibu kita. Lekukan kulit di atas dahi,
kantung di bawah mata, garis-garis di pipi itu adalah jejak penderitaan yang
mereka alami dan lewati. Ribuan peristiwa menyumbang pada kerut wajahnya. Buah dari melewati penderitaan ini adalah
wajah yang bersinar, senyum mengembang karena makin matang dan percaya diri.
Santo Matius menasihati : Janganlah khawatir akan hidupmu (Mat 6:25).
ALusius Heru Tricahyanto
18 Februari 2020
No comments:
Post a Comment