Tuesday, April 21, 2020

JANGAN KHAWATIR, BELAJAR DARI NABI AYUB



Membuka tahun 2020 ini dunia dikhawatirkan dengan merebaknya virus korona baru yang diberi nama Covid-19. virus baru yang muncul di Wuhan Cina membuat khawatir karena bisa berkembang menjadi pandemi. Kasus penularannya di Cina menanjak dari angka ratusan dan sebentar saja menjadi ribuan. Masalah tak pernah selesai, bila kita lihat di negara kita ada banyak masalah juga. Korupsi, bencana banjir tanah longsor yang bertubi-tubi data. Beberapa perusahaan besar terpaksa mem-PHK ratusan karyawannya karena dampak resesi global.Berita prostitusi anak yang terjadi di beberapa kota besar juga meresahkan.  Gereja yang sudah puluhan tahun berdiri di demo tidak mendapat IMB.
Kekhawatiran, ketakutan, panik adalah napas sehari-hari bagi kita. Kehidupan kita sehari-hari dalam mengurus anak, pasangan, mencari nafkah, berbisnis, kerja di kantor,mengajar, ataupun dalam menggembalakan umat tidak jauh dari rasa khawatir. Penderitaan dan kekhawatiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Lantaran inilah Alkitab menjadikannya tema penting  secara khusus dalam kitab-kitab kebijaksanaan. Seperti Kisah Ayub, orang yang berbudi baik dan mempunyai kekayaan luar biasa. Ia lalu mengalami penderitaan hebat, kehilangan seluruh kekayaan, anak-anaknya. Lalu disusul Ayub terkena kusta, dari telapak kaki sampai kepalanya berbau busuk. Bahkan untuk menggarukpun harus memakai pecahan tembikar.
  Hidupnya meluncur turun menuju lembah penderitaan ke titik terdalam. Masyarakat pada jaman Ayub  berpedoman bahwa Allah akan mengganjar yang baik dan menghukum yang jahat (juga mengingatkan saya akan komentar para warganet bahwa wabah Covid-19 karena Cina membunuhi etnis Uighur).  Ratapan dan protes keras istri  Ayub agar mengutuk Allah menambah berat penderitaannya. Menurut mereka ada kaitan erat antara penderitaan dengan dosa, dengan kata lain Ayub mengalami penderitaan hebat karena dosa-dosanya.
Pergulatan batin yang tidak mudah bagi Ayub  sampai membuat putus asa.  sehingga keluarlah keluh kesah kepada Allah, katanya ,“Ya Allah, kutukilah hari kelahiranku, dan malam aku mulai dikandung ibuku!  
Ayub bahkan menyesal dirinya telah hidup:  Mengapa aku tidak mati dalam rahim ibuku, atau putus nyawa pada saat kelahiranku? Mengapa aku tidak  lahir tanpa nyawa, supaya tidurku lelap dan terlena? (bdk Ayub 3 :1)
Kesedihan terbesar Ayub ialah Allah yang nampak meninggalkannya dan diam saja atas penderitaan, sakit dan hinaan yang dialaminya. Dalam keadaan demikian Ayub mengungkapkan seluruh perasaannya kepada Allah. Tetapi dalam semua itu Ayub tidak mengutuki Allah, seruannya merupakan ungkapan penderitaan dan keputusasaan bukan karena menentang Allah.
Kita sering dalam situasi terpuruk yang berarti dalam area berbahaya untuk menolak Allah dan meninggalkan iman. Padahal justru lewat misteri penderitaan itulah Allah hadir. Ayub sesungguhnya tidak sedang bergulat dengan penderitaan yang biasa- biasa saja.
Medan berbahaya
Saat kita berkeluh kesah, meratap, menangis saat itulah sebenarnya kita masuk dalam medan berbahaya. Perasaan depresi akan segera menguasai, saat seperti itu secara manusiawi pikiran akan terarah menuju kematian. Sepertinya semua akan terselesaikan dengan kematian, karena tidak ada keluh kesah lagi. Ataupun dengan penyesalan mengapa kita harus hidup di dunia.  Pikiran juga akan terarah untuk menyalahkan siapapun yang pernah berelasi dengan hidup kita, bahkan akhirnya akan menyalahkan Allah.
Ayub belajar dari penderitaannya. Ia menyadari tidak hanya sekedar bergulat dengan penderitaan fisik semata. Namun dengan kesadaran selalu menerima segala penderitaan tersebut dan tetap berpegan bahwa Allah sebagai sumber kebaikan. Kesadarannya ini membawanya bahwa penderitaan ini sebagai wajah lain dari Allah, Allah yang paradoksal. Karena di satu sisi Allah sumber kebaikan namun tanpa alasan yang jelas (yang kita tidak mengerti) penderitaan datang bertubi-tubi, membiarkan penderitaan yang seharusnya untuk orang yang jahat (menurut logika manusia).
Ketika hidup kita baik, bahagia, anak-anak tidak ada masalah, keuangan lancar, bisnis berjalan terus, tidak sulit untuk mengatakan bahwa Allah sumber kebaikan. Dalam situasi kebalikan, akankah kita bisa melambungkan pujian seperti itu. Orang juga bisa dengan mudah menasehati agar kita bersabar menerima segala  sakit dan penderitaan, karena Allah tidak akan mencobai melampaui batas kemampuannya. Tidak ada yang salah.
Namun juga tidak ada yang menjamin orang yang selalu bersyukur saat situasi baik, tetap bersyukur dan tidak meninggalkan Allah. Apakah ia sanggup tetap melambungkan pujian saat situasi begitu berat?
Syukurlah jika kita tetap berjalan seiringg dengan Allah. Namun Allah yang sekarang, setelah kita melewati berbagai penderitaan, tidaklah sama dengan Allah yang dahulu kita imani, saat kehidupan baik-baik saja. Seperti gambaran Allah saat kita masih anak-anak dengan sesudah dewasa.Dialah Allah yang saat ini seperti menjadi musuh kita. Menjadi lawan untuk bergumul bahkan bertarung mati-matian.
Bertarung dengan Allah dan memenangkannya tidak berarti harus mengalahkan Allah. Namun jika kita bisa bertahan melewati penderitaan, alias lulus dari ujian iman hal itu berarti kita berhasil. Penderitaan Ayub bisa jadi berbeda dengan yang kita alami. Penderitaan tetaplah sesuatu yang menjadi misteri sampai akhir. Kadangkala sulit untuk menjelaskannya. Langkah bijaknya adalah tetap menerima penderitaan itu dengan kesadaran bahwa setelah kita berhasil melewati akan menjadi lebih matanglah rohani kita. Melarikan diri hanya bebas sementara, namun suatu saat akan ketemu lagi dengan penderitaan bentuk yang lain. Itulah kontrak kita sebagai orang beriman : memanggul Salib.
Memanggul salib harus kita sadari sebagai sarana transformasi diri menjadi lebih matang dan dewasa. Mari kita amati guratan wajah ayah atau ibu kita. Lekukan kulit di atas dahi, kantung di bawah mata, garis-garis di pipi itu adalah jejak penderitaan yang mereka alami dan lewati. Ribuan peristiwa menyumbang pada kerut wajahnya.  Buah dari melewati penderitaan ini adalah wajah yang bersinar, senyum mengembang karena makin matang dan percaya diri. Santo Matius menasihati : Janganlah khawatir akan hidupmu (Mat 6:25).

ALusius Heru Tricahyanto
18 Februari 2020




No comments:

Post a Comment