Friday, March 31, 2017

Hidup yang Menghidupi

Charles J. Krebs,ekolog, memulai bukunya dengan pertanyaan: Mengapa Ada suatu jenis hewan/tumbuhan di suatu tempat dan tidak terdapat di tempat lain?
Ternyata ada beberapa faktor penyebabnya. Dari soal keyersediaan pakan,Cahaya,suhu Dan lainnya.

Tumbuhan ini hidup di sini bersama tetumbuhan lain. Sama-sama mencari makan,menyerang udara dan air. Tapi toh tidak saling mematikan,meski mungkin ada kompetisi. Keberadaan yang satu menunjang yang lain.

That's live. Hidup untuk menghidupi.
 Urip iku urub, menjadi cahaya meski cuma kecil. Menjadi garam walau cuma sedikit, bisa memberi rasa.

Maka, menanggapi situasi baru-baru ini, sungguh mengherankan jika sekelompok orang mau meniadakan yang lain. Yang lebih menyedihkan mereka mengatasnamakan agama. Sekolah -olah agama menjadi pembenar. Berbuat apapun atas nama agama dengan didukung lembaga berbau agama lalu menjadi benar.

Akan menjadi cahaya yang seperti apakah diri kita? Alan seasin apakah kita memberi rasa. Semuanya berpulang pada diri masing-masing. David Redfield di novel Manuskrip Celestine, mengatasnamakan bahwa tiap orang dilahirkan untuk bermisi. Setiap orang punya misi hidup. Dan perjumpaan serta kehidupan dengan orang lain adalah untuk menemukan kepingan-kepingan pesan. Puzzle-puzzle pesan tentang midi diri kita.

Maka pandanglah mata orang yang kita kasihi, dengarkan pula kata-kata dari orang yang tidak kita sukai. Dari semua orang yang kita jumpai itu Tuhan menyampaikan kepingan pesan untuk misa hidup kita.

Jadi tidak perlu menyingkirkan satu orang pun.

Friday, March 17, 2017

BELAJAR DARI KEHIDUPAN SERANGGA




Semut merupakan hewan yang sangat umum kita temui. Baik di rumah, di kebuh, sawah, pekarangan, sungai, di hamper semua tempat. Umumnya mereka kita lihat sedang berbaris panjang sekali atau sedang mengerubungi makanannya yang berupa hewan mati atau makanan yang terjatuh di tanah atau lantai. Lihat saja bila kita menjatuhkan sejumput kecil makanan di lantai, sebentar kemudian ternyata sudah dikerubungi semut. Lalu mereka membentuk barisan membawa makanan tersebut dalam potongan kecil-kecil menuju ke sarang. Setiap bertemu satu sama lain mereka “salaman” lalu berjalan lagi melanjutkan perjalanan. Apakah yang terjadi bila segumpal makanan tersebut hanya dihabiskan sendiri oleh seekor semut, jelas dia tidak akan kuat membawanya ke sarang.
Dalam ilmu entomologi, cabang dari ilmu biologi yang mempelajari tentang serangga, semut digolongkan dalam kelompok binatang yang memiliki pranata sosial. Binatang ini tidak hidup menyendiri tetapi secara bergerombol dalam satu sarang. Untuk memenuhi kebutuhan makannya mereka saling bekerjasama sehingga itu sering kita lihat semut-semut berkerumun di sekeliling makanan.
Semut tidak bisa berpikir, perilakunya digerakkan oleh insting yang diturungkan secara genetis. Namun bolehlah kita belajar soal “kecerdasan” semut ini. Kecerdasan berkerumun kawanan semut memungkinkan tercapainya tujuan besar. Tujuan ini tentu tidak bisa dicapai bila dilakukan sendirian
Kalau diamati  lebih teliti lagi saat berkerumun tadi ternyata kawanan semut tidak ada yang memimpin, semua berjalan hampir secara otomatis.  Tak satu pun dari "pelaku" itu perlu mengarahkan usaha kelompok untuk mencapai tujuan besar, tidak pula dibutuhkan pimpinan yang terpusat. Namun toh ternyata tujuan untuk memperoleh makanan yang mereka butuhkan bisa tercapai.
Sedikit banyak pengalaman mengamati semut ini bisa menjadi inspirasi kita untuk lebih banyak “berkerumun” menyelesaikan tugas-tugas sosial dalam masyarakat gereja dan masyarakat umum. Kita tidak bisa hanya fokus pada memenuhi kebutuhan sendiri atau keluarga saja. Kebutuhan masyarakat juga hendaknya kita jadikan agenda dalam hidup dan karya kita sehingga kita bisa lebih terlihat. “Sudah bukan waktunya lagi hidup dalam kenyamanan,” demikian yang dikatakan Paus Fransiskus. Lebih-lebih kaum muda, tidak elok hidup nyaman di dalam kamar sementara di luar rumah masyarakat membutuhkan kehadiran kita.

(Heru Tricahyanto – 10 Sept_ Untuk Utusan)


INSPIRASI HIDUP DARI KUPU-KUPU




Catopsilia sp. adalah nama untuk suatu jenis kupu kupu yang banyak ditemukan di perbukitan kapur di  Gunungkidul. Kupu-kupu ini terbang secara bergerombol dan mempunyai kebiasaan hinggap di tanah-tanah basah. Pada waktu penulis masih kecil,  masih sering terlihat kupu-kupu ini dalam jumlah ratusan terbang dan hinggap di tepian sungai belakang rumah. Saat ini fenomena tersebut semakin jarang dijumpai lagi.  Pada akhir musim kemarau awal musim hujan serangga terbang ini bisa kita jumpai di tepi sungai atau di  pantai. Sekumpulan Catopsilia sp. hinggap di hamparan pasir pantai yang masih basah. Ketika didekati dalam jarak 2 meter saja ternyata mereka sudah bisa mendeteksi kehadiran manusia , kemudian terbang menghindar.

Ternyata sebarannya cukup luas sampai daerah pantai. Mereka hinggap di pasir tepi pantai. Barangkali kebiasaan hinggap pada tempat-tempat basah ini  berkaitan dengan  perilaku menghisap untuk mendapatkan  mineral-mineral tertentu. Mereka tentu juga senang hinggap di bunga-bunga yang sedang mekar. Sambil menghisap madu bunga kupu-kupu membantu menyerbuki walaupun bukan merupakan serangga penyerbuk utama seperti halnya lebah dan tawon. Sebab kupu-kupu tidak memiliki organ khusus untuk membawa polen atau serbuk sari.


 Dari pengamatan sederhana bila  Catopsilia sp.  sudah sering ditemui, biasanya pada awal musim hujan, tandanya akan segera musim ulat trembesi.  Masyarakat di daerah karst Gunungkidul niteni  fenomena alam tersebut.

Apakah di sekitar rumahmu ada banyak kupu-kupu? Jika tidak ada atau hanya sedikit bolehlah kita sedikit berprasangka kondisi lingkungan sudah mulai menurun. Memang demikianlah menurut ahli kupu-kupu Djunijanti Peggie yang meraih doktoral di bidangnya dari Universitas Cornell. Kupu-kupu memang dapat digunakan sebagai indicator kualitas lingkungan. Artinya keberadaan kupu-kupu yang beragam di suatu area dapat memberikan indikasi bahwa daerah tersebut masih alami dan belum terganggu. Sebaliknya jika jenis kupu-kupu mulai menurun maka patut diduga daerah tersebut rendah kualitas lingkungannya. Ambil contoh di tepi jalan perkotaan yang ramai mana ada dijumpai kupu-kupu yang indah. Kupu-kupu berwarna warni hanya di jumpai di daerah yang banyak pohonnya.
“ Perubahan fungsi habitat akan mempengaruhi  penyebaran kupu-kupu di suatu area. Dengan demikian kupu-kupu dapat  digunakan dalam pemantauan lingkungan untuk mengamati perubahan habitat atau tingkat kerusakan habitat,” tegas Dr. Peggie.
Bagi kupu-kupu umur panjang mungkin tidak terlalu penting karena hanya 4 bulan hidup. Tetapi dari umur yang singkat tersebut mereka membawa banyak pesan yang bisa dibaca oleh para ahli.  Selain untuk pemantau kualitas lingkungan para ahli meneliti kupu-kupu untuk mengungkapkan rahasia evolusi dan pemahaman biogeografi yaitu ilmu yang mempelajari mengenai penyebaran suatu jenis makhluk hidup.
Kita lebih beruntung dengan umur yang mencapai puluhan tahun. Tentu lebih banyak hal yang bisa diperbuat.  Namun jangan sampai salah menetapkan pilihan  agar pesan kehidupan yang kita sampaikan ke orang-orang terdekat, lingkungan kerja, masyarakat dan dunia adalah pesan yang baik. Jangan sampai kenangan akan hidup kita adalah sesuau yang  tidak baik.


Ditulis oleh : Aluisius Heru Tricahyanto
Tinggal di Wonosari Gunungkidul
Dikirim untuk Majalah Utusan
7 mei 2015
Diteritkan di Utusan edisi September 2016 dengan judul : Antara Kita dan Catopsilia
Dikirim ke Swarawarga.com





Jebakan di Zona Nyaman



ditulis oleh :  Alusius Heru Tricahyanto

 Seorang teman yang sudah mapan  bekerja di perusahaan Farmasi di Jakarta memutuskan berhenti dan pulang ke Jogja.  Karirnya di kantor sudah cukup tinggi dengan gaji yang lumayan tentunya. Di Jogja   merintis usaha sendiri bekerja dari nol bersama istri yang baru dinikahinya.  Ada juga teman yang tadinya hidup di jalan pergi kesana kemari dengan  klub sepeda motornya. Hidupnya bebas tanpa  aturan kapan harus pulang. Yang penting berkumpul dengan teman dan pergi dengan vespa butut ke mana-mana. Sering tidur di  pinggir jalan atau emper  toko pokoknya yang penting asal berkumpul dengan teman hatinya senang. Uang sedikit tidak apa-apa. Akhirnya terpanggirl pulang ke desanya di pesisir selatan Gunungkidul. Di rumahnya yang kini dijadikan sanggar anak-anak desa dikumpulkan. Ia mengadakan kegiatan yang mendidik untuk anak-anak sekolah sehingga tidak  berkeliaran di tempat wisata dan terpapar dengan hal-hal yang belum selayaknya. Ibu-ibu diajari ketrampilan sehingga bisa mempunyai penghasilan tambahan yang menopang uang belanja keluarga. Anak-anak muda putus sekolah diberikan tempat  sebuang warung di atas bukit di pinggir pantai yang ramai. Sehingga mereka punya pekerjaan dan penghasilan. Hidupnya saat ini untuk mengabdi untuk mengurusi orang lain.
Setelah sekian tahun hidup, bekerja atau berumah tangga seseorang akan memasuki hidup yang mulai nyaman. Otak manusia caranya kerjanya membuat pola-pola. Pola irama harian, pola  berpikir sampai dengan pola hidup. Dengan pola-pola ini kegiatan manusia bisa lebih cepat karena dilakukan otomatis tanpa banyak berpikir.  Semakin banyak pola yang sudah ada dalam otak maka seseorang  akan memasuki hidup yang makin nyaman. Namun kenyamanan ini bisa menjadi jebakan. Seperti orang yang senang merokok setelah makan. Jika tidak melakukan nya maka ada rasa yang tidak nyaman. Sehingga sulit sekali untuk berhenti merokok.
Pola hidup yang sudah mapan dan nyaman terkadang bisa menjebak kita. Hidup menjadi monoton dan tidak maju-maju. Pola pikir yang sudah mapan menjadi tidak kreatif karena tidak bisa melihat dari sisi lain yang berbeda.  Penulis mencoba melihat drama penyaliban Yesus sebagai kepasrahan Yesus untuk  mendobrak zona nyamannya.  Yesus sendiri sudah meramalkan bahwa Ia sebagai Anak Allah akan mengalami sengsara namun bangkit dari kematian. Waktu itu para murid : Petrus dan Yakobus tidak memahami apa yang dikatakanNya.  Sebagai anak Allah tentu Ia memiliki kuasa untuk menghindar dari penyaliban. Namun peristiwa sengsara itu diterimanya dengan penuh keiklasan demi menebus dosa umat manusia. Yesus menerima diri untuk mengalami peristiwa yang mengerikan bagi seorang manusia demi sebuah hal yang mulia yaitu penebusan dosa.
Keluar dari zona nyaman memang perlu dilakukan untuk meraih hal yang lebih mulia. Seorang mahasiswa harus mati-matian kerja lembur menulis skripsi dan disertasinya agar lulus studi. Seorang karyawan atau guru harus lembur dan berpikir untuk menemukan metode pembelajaran yang tepat untuk anak didiknya alih-alih tidur di malam hari yang nyenyak. Seorang pengusaha mengorbankan waktu kebersamaan dengan keluarga  demi hidup istri dan anak-anaknya.
Masing-masing orang berada dalam zona nyamannya sendiri. Ada pilihan yang harus diambil tetap disitu atau bergerak pindah ke zona lain. Ada hal lebih baik dan mulia di zona lain namun untuk pindah perlu perjuangan dan pengorbanan. Ada waktu yang harus dikorbankan, biaya dan tenaga juga harus dikeluarkan. Ada sedikit keraguan yang  menyertai namun dorongan untuk hidup lebih baik, atau untuk melakukan seuatu yang mulia bisa jadi enegeri yang lebih dominan. Namun semuanya terserah kita.


Wonosari, 4 maret 15
Dikirim untuk Majalah Utusan
Dimuat di majalah utusan edisi 5 tahun 65 Mei 2015


Jika Kesuksesan menjadi Candu


"Kesadaran adalah matahari, Kesabaran adalah bumi dan keberanian menjadi cakrawala"
(Rendra dalam lagi Paman Doblang)

Kata sukses sering kita dengan dan diucapkan oleh orangtua, guru, teman dan sanak saudara.
Saat menghadiri pesta pernikahan pengantin mendapat ucapan : Semoga cepat sukses ya.
Anak ulang tahun di kartu ucapan ada tulisan: semoga menjadi anak yang sukses
Tulisan di syukuran kelahiran anak : mohon doa semoga menjadi anak yang sukses, berguna bagi bangsa …..
Jadi semenjak kecil sampai dewasa ini kata-kata sukses sudah dibenamkan dalam otak kita. Sehingga dalam bawah sadar apapun tindakan dan pikiran kita arahkan untuk mencapai kesuksesan. Kesuskesan seperti apa? Tentu kesuksesan mainstream seperti punya harta, jabatan atau sukses dalam studi sampai ke jenjang yang tinggi.

Foto oleh Jati (8th)

Namun kita harus hati-hati lho. “Sukses” sebenarnya bukanlah kata atau tradisi dalam kehidupan spiritual. Cita rasa “sukses “  lebih ke arah duniawi, hal inilah yang perlu diwaspadai. Sementara hidup yang sesunggunya adalah mengolah hal-hal yang bersifat spiritual. Tradisi untuk menguatkan spiritualitas sebenarnya tidak penah berbicara soal “sukses” ini. Hidup spiritual berpegang para prinsip moral : hidup yang baik dan benar, alih-alih sukses. Sehingga yang perlu dipegang adalah prinsip moral bahwa : tak ada hidup benar dan baik dalam hidup yang salah dan jahat. Tentu sukses tidak dilarang tetapi harus diwaspadai.

Adalah Reinhard Marx yang memberi ajaran tentang bagaimana meraih hidup benar dan baik tersebut. Reinhard Marx memberi resep “empat keutamaan”. Keutaamaan menurut Reinhard ini bukanlah sesuatu yang muluk-muluk, agung dan jauh dari kehidupan. Ternyata malah  memuat hal yang sangat sederhana. Hidup kita akan menjadi utama jika kita mengenakan nilai-nilai yang pas dan sreg dengan yang kita rasakan. Empat keutamaan yang membuat hidup menjadi pas dan sreg  ini adalah : kebijaksanaan, keadilan, ketabahan dan tahu batasnya.

Dalam masyarakat Jawa hidup itu diarahkan untuk nguri kawicaksanan.  Kebijaksanaan ini akan memandu hidup kita dengan akal sehat. Akal yang sehat itu bagaimana? Salah satunya akal yang mampu membedakan nilai-nilai. Akal sehat mampu membedakan nilai benar dari yang salah. Mengambil yang baik dari yang jahat. Di sini perlunya rasionalitas alias berpikir kritis yang dalam pengetahuan dikenal sebagai langkah atau metode ilmiah. Menghadapi suatu masalah dan berusaha memecahkannya secara sistematis, tidak anut grubyuk asal membenarkan suatu pendapat karena dianut oleh banyak orang. Pun dalam nilai-nilai agama seyogyanya membiarkan manuasia penganutnya tetap dibimbing oleh cara berpikirt kritis ini.

Dalam kebijaksanaan tersirat perlunya kecerdasan. Namun bukan sekedar cerdas saja yang notabene bisa diperoleh dari membaca banyak buku. Di sini diperlukan kepekaan terhadap suara hati dan rajin mengolahnya dengan akal sehat.

Dalam kesuksesan lebih mengandaikan diraih oleh orang yang pintar, kuat, berkuasa. Dan mengesampingkan yang bodoh, miskin dan lemah. Padahal dalam diri mereka tidak jarang ada mutiara kebijaksanaan.

Kedua keadilan. Hidup yang tidak adil akan merusak hidup itu sendiri dan membawa ketidakbahagiaan. Bagaimana tolok ukur keadilan ini. Secara prinsip bisa dikatakan : apa yang kamu inginkan untuk dirimu, buatlah itu juga untuk orang lain. Itulah keadilan. Dengan kata lain kalau kita tidak suka diperlukan seperti itu ya jangan memperlakukan orang seperti itu.
Keadilan lebih bersifat keluar dari dalam diri kita, ada empati, perhatian terhadap lain. Tidak hanya mengejar untuk diri kita sendiri. Dasar inilah yang berbeda dengan kesuksesan. Karena jika hanya mengejar kesuksesan saja kita bisa mengabaikan orang lain dan tidak peduli dengannya. Sehingga terlalu mengejar kesuksesan akan terjerumus dalam sikap ketidakadilan.

Ketiga, ketabahan. Ketabahan bukanlah menjadi orang yang kaku. Namun di situ ada kekuatan sekaligus kelenturan. Sikap lentur menghadapi situasi yang serba berubah namun juga kuat tidak mudah patah atau mutung. Ketabahan ini juga berarti kita betah menghadapi konflik, tapi bukan berarti menjadi sumber konflik. Dalam kehidupan modern ini dan era merebaknya medsos kita sering dipameri foto-foto tentang hal-hal yang menyenangkan : makan enak, pergi wisata, keluarga bahagia, materi tercukupi.kesannya hidup serba enak tidak ada masalah. Walaupun di balik itu kita tidak tahu senyatanya. Lalu banyak yang berlomba mengejar kesenangan untuk ikut-ikutan dipamerkan di medsos. Hedonisme saat ini menjadi berhala baru di masyarakat. Akibatnya banyak yang tidak tahan konflik. Yang dipikirkan ternyata tidak seperti yang dihadapi. Lalu mudah nglokro, tidak semangat dan mudah marah, protes kenapa hidup kok susah amat sih. Di sinilah diperlukan ketabahan, kuat tetapi juga lentur.

Keempat, tahu batas. Pada anak-anak bisa diajarkan tentang tahu batas ini soal makan dan minum agar setelah dewasa menjadi lebih peka. Bahwa kita juga mesti tahu batas kerja sehingga bisa menyeimbangkan antara waktu kerja dan waktu untuk istirahat. Waktu untuk kantor dan waktu untuk keluarga. Pikiran untuk mengejar materi, uang dan keseimbangan pikiran untuk mengolah dan merefleksi pengalaman. Dalam hidup yang tahu batas ini kita juga tidak akan memperlakukan alam semena-mena. Karena ia juga seperti manusia yang ada batasnya (carriying capacity). Sehingga eksploitas sumbedaya alam juga bisa seimbang dengan recovery-nya.

Jelas tahu batas ini bertentangan dengan sukses. Karena sukses yang penting mengejar sebanyak-banyaknya mumpung ada kesempatan. Lalu orang yang dihantui sukses ini bisa terjerumus ke dalam sikap serakah, mau menang sendiri dan kemurkaan.

Empat keutamaan ini seperti kuda yang menarik kereta kehidupan kita. Lalu diam-diam sebenarnya di sini ada perlawanan prinsipil dengan kesuksesan yang ditawarkan oleh kehidupan moder. Karena cita rasa sukses yang ditawarkan hidup modern belum tentu pas dan sreg. Tidak mungkin jika sukses malah membuat hidup tidak bahagia.

(heru tricahyanto, 18 Maret 17)