"Kesadaran adalah matahari, Kesabaran adalah bumi dan keberanian menjadi cakrawala"
(Rendra dalam lagi Paman Doblang)
Kata sukses sering kita dengan dan diucapkan oleh orangtua, guru, teman
dan sanak saudara.
Saat menghadiri pesta pernikahan pengantin mendapat ucapan : Semoga
cepat sukses ya.
Anak ulang tahun di kartu ucapan ada tulisan: semoga menjadi anak yang
sukses
Tulisan di syukuran kelahiran anak : mohon doa semoga menjadi anak yang
sukses, berguna bagi bangsa …..
Jadi semenjak kecil sampai dewasa ini kata-kata sukses sudah dibenamkan
dalam otak kita. Sehingga dalam bawah sadar apapun tindakan dan pikiran kita
arahkan untuk mencapai kesuksesan. Kesuskesan seperti apa? Tentu kesuksesan mainstream seperti punya harta, jabatan
atau sukses dalam studi sampai ke jenjang yang tinggi.
|
Foto oleh Jati (8th) |
Namun kita harus hati-hati lho. “Sukses” sebenarnya bukanlah kata atau
tradisi dalam kehidupan spiritual. Cita rasa “sukses “ lebih ke arah duniawi, hal inilah yang perlu
diwaspadai. Sementara hidup yang sesunggunya adalah mengolah hal-hal yang
bersifat spiritual. Tradisi untuk menguatkan spiritualitas sebenarnya tidak
penah berbicara soal “sukses” ini. Hidup spiritual berpegang para prinsip moral
: hidup yang baik dan benar, alih-alih sukses. Sehingga yang perlu dipegang
adalah prinsip moral bahwa : tak ada hidup benar dan baik dalam hidup yang
salah dan jahat. Tentu sukses tidak dilarang tetapi harus diwaspadai.
Adalah Reinhard Marx yang memberi ajaran tentang bagaimana meraih hidup
benar dan baik tersebut. Reinhard Marx memberi resep “empat keutamaan”. Keutaamaan
menurut Reinhard ini bukanlah sesuatu yang muluk-muluk, agung dan jauh dari
kehidupan. Ternyata malah memuat hal
yang sangat sederhana. Hidup kita akan menjadi utama jika kita mengenakan
nilai-nilai yang pas dan sreg dengan
yang kita rasakan. Empat keutamaan yang membuat hidup menjadi pas dan sreg ini adalah : kebijaksanaan, keadilan,
ketabahan dan tahu batasnya.
Dalam masyarakat Jawa hidup itu diarahkan untuk nguri kawicaksanan.
Kebijaksanaan ini akan memandu hidup kita dengan akal sehat. Akal yang
sehat itu bagaimana? Salah satunya akal yang mampu membedakan nilai-nilai. Akal
sehat mampu membedakan nilai benar dari yang salah. Mengambil yang baik dari yang
jahat. Di sini perlunya rasionalitas alias berpikir kritis yang dalam
pengetahuan dikenal sebagai langkah atau metode ilmiah. Menghadapi suatu
masalah dan berusaha memecahkannya secara sistematis, tidak anut grubyuk asal membenarkan suatu pendapat
karena dianut oleh banyak orang. Pun dalam nilai-nilai agama seyogyanya
membiarkan manuasia penganutnya tetap dibimbing oleh cara berpikirt kritis ini.
Dalam kebijaksanaan tersirat perlunya kecerdasan. Namun bukan sekedar
cerdas saja yang notabene bisa diperoleh dari membaca banyak buku. Di sini
diperlukan kepekaan terhadap suara hati dan rajin mengolahnya dengan akal
sehat.
Dalam kesuksesan lebih mengandaikan diraih oleh orang yang pintar,
kuat, berkuasa. Dan mengesampingkan yang bodoh, miskin dan lemah. Padahal dalam
diri mereka tidak jarang ada mutiara kebijaksanaan.
Kedua keadilan. Hidup yang tidak adil akan merusak hidup itu sendiri
dan membawa ketidakbahagiaan. Bagaimana tolok ukur keadilan ini. Secara prinsip
bisa dikatakan : apa yang kamu inginkan untuk dirimu, buatlah itu juga untuk
orang lain. Itulah keadilan. Dengan kata lain kalau kita tidak suka diperlukan
seperti itu ya jangan memperlakukan orang seperti itu.
Keadilan lebih bersifat keluar dari dalam diri kita, ada empati,
perhatian terhadap lain. Tidak hanya mengejar untuk diri kita sendiri. Dasar
inilah yang berbeda dengan kesuksesan. Karena jika hanya mengejar kesuksesan
saja kita bisa mengabaikan orang lain dan tidak peduli dengannya. Sehingga terlalu
mengejar kesuksesan akan terjerumus dalam sikap ketidakadilan.
Ketiga, ketabahan. Ketabahan bukanlah
menjadi orang yang kaku. Namun di situ ada kekuatan sekaligus kelenturan. Sikap
lentur menghadapi situasi yang serba berubah namun juga kuat tidak mudah patah
atau mutung. Ketabahan ini juga
berarti kita betah menghadapi konflik, tapi bukan berarti menjadi sumber
konflik. Dalam kehidupan modern ini dan era merebaknya medsos kita sering
dipameri foto-foto tentang hal-hal yang menyenangkan : makan enak, pergi
wisata, keluarga bahagia, materi tercukupi.kesannya hidup serba enak tidak ada
masalah. Walaupun di balik itu kita tidak tahu senyatanya. Lalu banyak yang
berlomba mengejar kesenangan untuk ikut-ikutan dipamerkan di medsos. Hedonisme
saat ini menjadi berhala baru di masyarakat. Akibatnya banyak yang tidak tahan
konflik. Yang dipikirkan ternyata tidak seperti yang dihadapi. Lalu mudah nglokro, tidak semangat dan mudah marah,
protes kenapa hidup kok susah amat sih. Di sinilah diperlukan ketabahan, kuat
tetapi juga lentur.
Keempat, tahu batas. Pada anak-anak
bisa diajarkan tentang tahu batas ini soal makan dan minum agar setelah dewasa
menjadi lebih peka. Bahwa kita juga mesti tahu batas kerja sehingga bisa
menyeimbangkan antara waktu kerja dan waktu untuk istirahat. Waktu untuk kantor
dan waktu untuk keluarga. Pikiran untuk mengejar materi, uang dan keseimbangan
pikiran untuk mengolah dan merefleksi pengalaman. Dalam hidup yang tahu batas
ini kita juga tidak akan memperlakukan alam semena-mena. Karena ia juga seperti
manusia yang ada batasnya (carriying
capacity). Sehingga eksploitas sumbedaya alam juga bisa seimbang dengan recovery-nya.
Jelas tahu batas ini bertentangan dengan sukses. Karena sukses yang
penting mengejar sebanyak-banyaknya mumpung ada kesempatan. Lalu orang yang
dihantui sukses ini bisa terjerumus ke dalam sikap serakah, mau menang sendiri
dan kemurkaan.
Empat keutamaan ini seperti kuda yang menarik kereta kehidupan kita.
Lalu diam-diam sebenarnya di sini ada perlawanan prinsipil dengan kesuksesan
yang ditawarkan oleh kehidupan moder. Karena cita rasa sukses yang ditawarkan
hidup modern belum tentu pas dan sreg.
Tidak mungkin jika sukses malah membuat hidup tidak bahagia.
(heru tricahyanto, 18 Maret 17)