Pembaca tahu tentu bisa membayangkan bagaimana perjalanan seekor tuna terhidang di meja makan? Pertama tentu karena ada laut, lalu pak nelayan dengan kapalnya melaut menjaring ikan. Setelah di bawa ke darat kemudian dibeli pengepul yang kemudian berkeliling menjualnya ke kita.
Bagi sebagian besar orang seperti saya, melaut tentu bukan pekerjaan sepele. Kita harus naik kapal kecil, masuk ke ganasnya ombak. Terombang-ambing sampai ke tengah laut yang agak tenang baru kemudian menebar jaring. Naik kapal kecil bagi yang tidak biasa tentu bukan hal yang enak. Belum lagi bertarung dengan tingginya ombak, dingginya air, dan kencangnya angin. Ditambah bila cuaca hujan, tidak bersahabat. Tentu akan menyiksa.
Dengan perjuangan yang berat seperti itulah sekerangjang ikan hasil menjaring akan dibawa ke darat kemudian dibeli oleh pengepul. Tentu harganya mahal karena untuk mendapatkanya perlu perjuangan berat. Ternyata tidak selalu begitu pembaca. Memang ada jenis ikan tertentu yang harganya tinggi, seperti layur, bawal,lobster, gurita yang bisa diekspor.
Beberapa kali dalam perjalanan saya ke pantai, walaupun dengan bermaksud membeli ikan langsung dari nelayan, tapi malahan mereka memberikanya begitu saja kepada saya. Ketika saya tanya harus bayar berapa, mereka jawab , tidak usah dibawa saja Mas. Para nelayan itu sungguh murah hati, kekayaan mereka bukanlah dari harta yang melimpah, tapi karena hatinya yang "nrimo" pemberian alam setelah berusaha. Hasil yang didapat disyukuri berapapun adanya. Ketika saya beberapa kali menjumpai, disela-sela kehidupanya yang kerja keras, selalu terdengar kata-kata syukur terhadap anugerah Tuhan. Lalu saya merasa malu sendiri, betapa seringkali didalam kehidupan yang serba cukup masih saja terasa kurang ini itu. Terima kasih Pak Nelayan, kau telah mencerahkan budiku.
Baron, 16 Desember 2011
No comments:
Post a Comment